HomeAdab & AkhlakMembaca Ta'awudz Saat Mengutip Ayat Al-Quran Ketika Ceramah

Membaca Ta’awudz Saat Mengutip Ayat Al-Quran Ketika Ceramah

Published on

Membaca Ta’awudz Ketika Membaca Ayat Al Quran Dalam Ceramah dan Khutbah

Pertanyaan:

Apa hukum membaca isti‘aadah (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم) ketika mengutip ayat Al-Qur’an dalam khutbah, nasihat, dan pembicaraan ?

Jawaban:

Al-ḥamdulillahi rabbil-‘alamin, was-shalatu was-salamu ‘ala sayyidil-mursalin, wa ‘ala alihi wa ṣaḥbihi ajma‘in.

Sebelum memasuki pembahasan inti, saya akan terlebih dahulu menjelaskan batasan inti dari masalah ini, maka saya katakan: orang yang ingin membaca sebagian dari Al-Qur’an, maka ia tidak lepas dari tiga kemungkinan:

Pertama: Jika pembacaan tersebut dimaksudkan sebagai tilawah seperti mlantunkan ayat Al Quran untuk mengaji atau yang semisalnya, maka pada kondisi ini disyariatkan untuk membaca isti’adzah (ta‘awudz), bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa membaca isti’adzah (ta’awudz) hukumnya sunnah ketika hendak membaca Al-Qur’a. (Lihat: Tafsir ath-Thabari (17/294), Al-Muḥallā (3/247), Al-Mabsūṭ (1/88), Al-Adzkar karya An-Nawawi, (hlm. 68), Tafsir Ibnu Katsir (2/586), dan Aḍwā’ul-Bayān (1/325))

Keadaan kedua: Jika bacaan tersebut adalah bacaan Surah Al-Fatihah dalam shalat. Bila itu terjadi pada rakaat pertama, maka membaca isti’adzah disunnahkan menurut semua ulama. Namun, ada riwayat dari Imam Mālik bahwa beliau tidak membaca isti’adzah dalam shalat fardhu. Adapun jika bacaan Al-Fatihah tersebut terjadi pada rakaat kedua dan seterusnya, maka terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Keadaan ini juga bukan bagian dari pokok pembahasan kita. (lihat: al-Mawsū‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (4/11-13)

Keadaan ketiga: Jika pembacaan ayat tidak dimaksudkan sebagai tilawah dan bukan dalam shalat, melainkan hanya untuk dijadikan sebagai kutipan atau dalil dalam sebuah hujjah, nasihat, khutbah, dan yang semisalnya, maka inilah yang jadi inti dari pembahaan kita.

Pertama tama perlu diketahu para ulama sepakat bahkan mereka berijma’ bahwasanya bacaan isti’adzah bukan bagian dari Al Quran, Al Qurtubi berkata:

وقد أجمع العلماء على ‌أن ‌التعوذ ‌ليس ‌من ‌القرآن ولا آية منه، وهو قول القارئ: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

Artinya: Para ulama telah sepakat bahwa ta’awwudz (isti’adzah) bukan bagian dari Al-Qur’an dan bukan merupakan salah satu ayat darinya. Yang dimaksud dengan ta’awwudz adalah ucapan seorang qari’: ‘A‘ūdzu billāhi min asy-syayṭāni r-rajīm’.”
(Tafsir Al-Qurṭubī = Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 1/86).

Maka dari sini tidak disyariatkan seseorang membaca isti’adzah ketika mengutip ayat Al-Qur’an sebagai bentuk istidlal (pengambilan dalil) atau hujjah (argumen), agar dapat membedakan antara kalam Allah dan ucapan selain-Nya. Karena ta’awudz sebagaimana yang sudah kita sampaikan diatas bukanlah bagian dari Al Quran, sehingga cukup dia mengatakan: ‘Allah Ta‘ala berfirman’ atau ungkapan semisalnya.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:

وإنما يكتفي بــ ” قال الله تعالى ” ، أو ما أشبه ذلك، مما يميز القرآن الكريم عن غيره ” انتهى.

Artinya: “maka cukup baginya mengatakan: ‘Allah Ta‘ala berfirman’ atau semisalnya, sehingga  dapat  dibedakan antara Al-Qur’an dari selainnya. (Syarḥ al-Arba‘īn an-Nawawiyyah, hlm. 301)

As Suyuthi berkata: Telah sampai kepadaku pertanyaan tentang sesuatu yang sering terjadi, yaitu ketika seseorang ingin menyebutkan suatu ayat, ia berkata: ‘Allah Ta‘ala berfirman a‘ūdzu billāhi min asy-syayṭānir-rajīm lalu ia menyebutkan ayat tersebut. Apakah apakah orang yang membacanya dengan cara seperti itu benar atau keliru?”

Maka beliau menjawab: Pendapat yang tampak benar menurut saya, dan berdasarkan riwayat dan dalil, adalah bahwa seharusnya seseorang cukup mengatakan: ‘Allah Ta‘ala berfirman’ lalu menyebutkan ayat, tanpa menyebut isti’adzah. Karena inilah yang diriwayatkan secara sahih dalam hadis-hadis dan atsar dari perbuatan Nabi ﷺ, para sahabat, para tabi‘in, dan generasi setelah mereka.

Kemudian beliau melanjutkan: Hadis-hadis dan atsar dalam masalah ini sangatlah banyak dan tidak dapat dihitung. Maka yang wajib adalah cukup menyebutkan ayat tanpa isti’adzah, mengikuti apa yang diriwayatkan dalam hal itu. Sebab perkara ini adalah perkara ittiba‘ (mengikuti tuntunan). Sedangkan perintah membaca isti’adzah dalam firman Allah Ta‘ala: “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” [Q.S An-Nahl : 98]. itu ditujukan untuk membaca Al-Qur’an dalam rangka tilawah (melantunkan Al Qur’an, adapun menyebutkan satu ayat untuk dijadikan dalil atau hujjah terhadap suatu hukum, maka tidak disyariatkan membaca isti’adzah.”

Maka kesimpulanya adalah tidak diragukan lagi bahwa perbuatan tersebut (mebaca isti’adzah sebelum mengutip ayat dalam khutbah atau nasehat dan yang semisalnya) tidaklah disyariatkan karena tiga alasan:

Pertama: Perbuatan itu bukanlah bertujuan melatuntan Al Quran (tilawah), melainkan hanya mengutip ayat sebagai dalil. Sedangkan Allah berfirman:
‘Apabila kamu membaca Al-Qur’an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk’ (Surat An-Nahl, ayat 98). Dan yang dimaksud dengan ‘membaca’ dalam ayat ini adalah tilawah bukan membaca yang tujuanya mengutip.

Kedua: Nabi ﷺ  dalam hadis hadisnya yang sahih tatkala hendak mengutip ayat beliau tidak pernah melakukan hal tersebut, berdasarkan sejauh penelitian terhadap semua riwayat yang ada tentang cara beliau mengutip ayat. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau membaca isti’adzah saat hendak mengutip ayat dengan tujuan beristidlal (berdalil) dengan ayat Al Quan.

Ketiga: Para khatib kebanyakn dari mereka melakukan hal ini, biasanya hanya menyertakan isti’adzah dipotongan ayat bagian terakhir saja, bukan pada ayat-ayat sebelumnya. Ini jelas merupakan tindakan mengkhususkan sesuatu tanpa dasar yang sah. Dan di sinilah letak kekeliruan dan kekurangannya, dan perlu diketahu Nabi ﷺ  beliau sering berkhutbah dihadapan para sahabatnya dan tentu khutbah beliau penuh dengan kutipan ayat-ayat Al Quran akan tetapi tidak ada riwayat beliau membaca istiadzah sebelum mengutip sebuah ayat (Lihat: Al-Shāmil fī Fiqh al-Khaṭīb wa al-Khuṭbah, Syaikh Saud bin Ibrāhīm al-Shuraim, hal. 353).

Wallāhu a‘lam.

Dijawab oleh: Ustadz Muhammad Faqihudin Ismail, B.A, M.A.

Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A.
Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A.
Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A. S1 hadis UIM, S2 Aqidah UIM. Saat ini menempuh program S3 Aqidah di UIM.

Latest articles

Kafarah Sumpah: Antara Janji dan Sumpah!

Kaffarah Sumpah: Apakah Sama ‘Janji’ dengan ‘Sumpah’? Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali mengucap sumpah,...

Keutamaan Membaca Surah al-Fatihah

Keutamaan Membaca Surah al Fatihah: Kunci Rahmat dan Inti Ibadah Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala...

Aurat dalam Shalat: Batasan Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ulama

Perbedaan Aurat Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat Shalat adalah ibadah langsung antara hamba dengan Rabb-nya....

Tafsir Surat An-Naba’ 23

Tafsir An-Naba' Ayat 23: Apakah Azab Neraka Akan Berakhir Bismillah, walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba'du. Salah satu ayat yang paling menggugah...

More like this

Kafarah Sumpah: Antara Janji dan Sumpah!

Kaffarah Sumpah: Apakah Sama ‘Janji’ dengan ‘Sumpah’? Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali mengucap sumpah,...

Keutamaan Membaca Surah al-Fatihah

Keutamaan Membaca Surah al Fatihah: Kunci Rahmat dan Inti Ibadah Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala...

Aurat dalam Shalat: Batasan Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ulama

Perbedaan Aurat Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat Shalat adalah ibadah langsung antara hamba dengan Rabb-nya....