Kontroversi Hukum Shalat Jumat Ketika Bertepatan dengan Idul Fitri/Adha: Analisis Dalil Al-Quran, Sunnah, dan Atsar Salaf
Pertanyaan: Bagaimana penjelasan ulama tentang hukum shalat Jumat bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id ketika keduanya bertepatan, dan bagaimana dalil mereka dari Qur’an, Sunnah, dan Atsar Salaf?
Jawaban: Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.
Diantara ibadah yang Allah syari’atkan dalam agama yang mulia ini ialah shalat Jum’at dan shalat ‘Id (hari raya). Allah ta’ala berfirman tentang shalat Jum’at:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S Al Jumu’ah: 9)
Lalu terkait shalat ‘id (hari raya) secara umum ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudriyy radhiyallahu ‘anhu berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةَ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ
“Nabi ﷺ biasa keluar pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha menuju tempat shalat. Hal pertama yang beliau lakukan adalah melaksanakan shalat. Setelah itu beliau berpaling (selesai dari shalat), lalu berdiri menghadap kepada orang-orang, sedangkan mereka tetap berada dalam saf-saf mereka. Lalu beliau memberikan nasihat kepada mereka dan memerintahkan mereka.” (H.R Bukhari no.956 dan Muslim no.889)
Para ulama juga menegaskan disyari’atkannya kedua shalat ini diantaranya ialah Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (w. 620 H) berkata tentang shalat Jum’at:
وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى وُجُوبِ الْجُمُعَةِ.
“Kaum Muslimin telah sepakat atas wajibnya shalat Jum’at.” (Al-Mughni, 2/3, cet. Dar ‘Alam al-Kutub)
Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata tentang shalat ‘Id:
وَأَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ مَشْرُوعَةٌ.
“Umat Islam telah sepakat bahwa shalat ‘Id disyariatkan.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 5/5, cet. Dar al-Fikr)
Lalu apakah ada kemungkinan kedua ibadah ini (shalat Jum’at dan shalat ‘Id) bertepatan pada hari yang sama dan apakah pernah terjadi di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum?
Maka jawabannya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجْمِعُونَ
“Sungguh, pada hari kalian ini telah berkumpul dua hari raya (hari Jum’at dan hari ‘Idul Fithri/Adhha). Maka siapa yang mau, cukup baginya tidak menghadiri shalat Jumat (karena telah salat ‘Id). Dan sesungguhnya kami tetap akan melaksanakan (shalat Jumat).” (HR. Abu Daud no.1073 dan dishahihkan oleh Al Albani).
Para ulama 4 madzhab berbeda pendapat dalam masalah ini, berikut penjelasannya:
- Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H) berkata:
إِذَا اجْتَمَعَ العِيدُ وَالجُمُعَةُ، فَمَنْ شَهِدَ العِيدَ سَقَطَتْ عَنْهُ الجُمُعَةُ، إِلَّا الإِمَامَ، فَإِنَّهُ يُقِيمُ الجُمُعَةَ لِيَشْهَدَهَا مَنْ شَاءَ
“Jika ‘Id dan Jum’at bertepatan, maka siapa yang telah menghadiri shalat ‘Id gugurlah darinya kewajiban shalat Jum’at, kecuali imam, ia tetap menyelenggarakan Jum’at bagi yang ingin hadir.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/285)
Kesimpulan ini diambil berdasarkan hadits shahih dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ الْعِيدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
“Nabi ﷺ menunaikan shalat ‘Id, lalu memberikan rukhshah (keringanan) dalam (shalat) Jumat. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang ingin shalat (Jumat), maka silahkan shalat.”.” (HR. Abu Dawud no.1070, Ibnu Majah no. 1310, dan lainnya; dinilai sahih oleh al-Albani)
- Imam al-Kasani rahimahullah (w. 587 H) dari madzhab hanafi berkata:
الجُمُعَةُ لَا تَسْقُطُ بِصَلَاةِ العِيدِ، لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ، فَلَا يُغْنِي إِحْدَاهُمَا عَنِ الأُخْرَى
“Shalat Jum’at tidak gugur karena shalat ‘Id, karena keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri; yang satu tidak menggugurkan yang lain.”(Badai‘ ash-Shana’i, al-Kasani, 1/275)
- Imam al-Khurrasyi rahimahullah (w. 1101 H) dari madzhab maliki berkata:
وَلَا تَسْقُطُ الجُمُعَةُ بِالعِيدِ، وَهَذَا هُوَ المُعْتَمَدُ عِندَ المَالِكِيَّةِ
“Shalat Jum’at tidak gugur karena ‘Id. Ini adalah pendapat mu‘tamad di kalangan Malikiyah.” (Sharh al-Khurrasyi ‘ala Mukhtashar Khalil, 2/104)
- Imam an-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) dari madzhab syafi’i menyatakan:
وَلَوِ اجْتَمَعَ العِيدَانِ لَمْ يَسْقُطْ أَحَدُهُمَا بِحُضُورِ الآخَرِ بِاتِّفَاقِ أَصْحَابِنَا
“Jika dua hari raya (‘Id dan Jum’at) berkumpul, maka salah satunya tidak menggugurkan yang lain menurut kesepakatan para ulama mazhab kami.” (al-Majmu’, 5/21).
Adapun tiga madzhab lainnya mengambil kesimpulan dari firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.” (QS. al-Jumu‘ah: 9)
Mereka berpegang bahwa perintah dalam ayat ini bersifat mutlak, tidak ada pengecualian walaupun bertepatan dengan shalat ‘Id. Disamping itu, mereka menganggap hadits-hadits tentang gugurnya Jumat karena ‘Id adalah hadits ahad dan tidak cukup kuat untuk menasakh ayat Al-Qur’an. Mereka juga berdalil bahwa Jumat adalah ibadah wajib pekanan yang tidak bisa gugur hanya karena ada ibadah lain, apalagi keduanya hanya berjarak beberapa jam.
Maka dapat kita simpulkan bahwasanya mayoritas ulama madzhhab berpendapat tidak gugurnya kewajiban shalat Jum’at walaupun ia bertepatan dengan hari ‘Idul Fithri ataupun ‘Idul Adhha dan lebih ditekankan lagi untuk para imam masjid. Akan tetapi kita harus tetap menghormati kaum muslimin yang mengambil pendapat madzhab hanbali, wallahu a’lamu bishshawab.
Washallallahu ‘ala nabiyyina muhammad walhamdulillahi rabbil ‘alamin.