Tafsir An-Naba’ Ayat 14: Mengungkap Makna “Al-Mu’shirat”, Hujan Deras dari Awan atau Angin?
Bismillah, walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du. Insyaallah kita akan mentadabburi surah An Naba’ ayat ke 14 melalui beberapa tafsir dari para ulama berikut.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا
“Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah,” (Q.S An Naba’: 14)
Imam Ath Thabari rahimahullah (w. 310 H) menjelaskan dalam tafsirnya:
“Para ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna “Al Mu’shirat”. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah angin (yang bertiup) yang memeras (awan untuk menurunkan hujan). Disebutkan oleh mereka yang berpendapat demikian: Muhammad bin Sa‘d meriwayatkan dari ayahnya, dari pamannya, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman Allah: “Dan Kami turunkan dari Al Mu’shirat”, ia berkata: “Al Mu’shirat” adalah angin. ‘Ikrimah membaca ayat tersebut: “Dan Kami turunkan dari Al Mu’shirat” , maknanya adalah: “dengan angin.” Mujahid juga mengatakan: “Al Mu’shirat” adalah angin. Demikian pula diriwayatkan dari Qatadah dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud adalah angin.
Sementara kelompok lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Al Mu’shirat” adalah awan, yaitu awan yang telah penuh dengan uap air dan siap menurunkan hujan, sebagaimana wanita yang sudah dekat masa haidnya namun belum haid.
Mereka yang berpendapat demikian: Sufyan berkata: “Al Mu’shirat” adalah awan. Ibnu ‘Abbas juga berkata: “Dan Kami turunkan dari Al-Mu’shirat”, maksudnya dari awan. Ar-Rabi‘ berkata: “Al Mu’shirat” adalah awan.”
Sementara itu, sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah langit. Mereka yang berpendapat demikian:
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Dan Kami turunkan dari Al Mu’shirat”, maksudnya dari langit. Qatadah juga mengatakan hal serupa dalam dua riwayat.
Pendapat yang paling benar (menurut Ath Thabari (w. 310 H)) adalah bahwa “Al Mu’shirat” adalah awan yang telah mengandung uap air dan siap menurunkan hujan, karena: Dari ketiga pendapat di atas, angin tidaklah mengandung air, melainkan hanya menjadi penggerak awan. Maka tidak layak disebut: “Kami turunkan dari angin…”, melainkan “dengan angin.” Sedangkan redaksi ayat menggunakan: “مِنَ” (dari), bukan “بِ” (dengan). Jika dikatakan bahwa yang dimaksud langit, maka tetap yang lebih dominan adalah bahwa hujan turun dari awan, bukan langsung dari langit secara umum.
Makna dari “Ma-an Tsajjaja” adalah air yang mengalir deras, satu curahan menyusul yang lain, sebagaimana aliran darah dari tubuh yang mengalir secara terus-menerus ketika disembelih. Ini menunjukkan derasnya hujan. Mereka yang mendukung penafsiran ini: Ibnu ‘Abbas berkata: “Ma-an Tsajjaja” artinya air yang tercurah deras dari langit. Mujahid dan Qatadah juga mengatakan: “Tsajjaja” berarti mengalir terus-menerus. Beberapa lainnya menafsirkan “Tsajjaja” sebagai air yang sangat banyak, meskipun dalam bahasa Arab klasik, kata “Tsajj” tidak dikenal sebagai sifat untuk jumlah, melainkan sifat untuk aliran yang kuat dan terus-menerus. Nabi ﷺ bersabda: “Sebaik-baik haji adalah Al ‘Ajj (suara keras talbiyah) dan Ats Tsajj” (curahan darah hewan kurban).” Kata “Tsajj” dalam hadis ini merujuk pada mengalirnya darah secara deras, sebagaimana curahan hujan yang dimaksud dalam ayat ini.” (Jami‘ Al Bayan Fi Ta’wil Ay Al Quran, 24/11-16, cet. Dar Hajar, Kairo).
Lalu Imam Al Qurthubi rahimahullah (w. 671 H) menjelaskan dalam tafsirnya:
“Mujahid dan Qatadah berkata: “Al Mu’shirat” adalah angin. Ibnu ‘Abbas juga mengatakan hal serupa, yakni seolah-olah angin itu memeras awan. Namun, dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas, beliau menafsirkan “Al Mu’shirat” sebagai awan. Sufyan, Ar Rabi‘, Abul ‘Aliyah, dan Adh-Dhahhak berkata: “Al Mu’shirat” adalah awan yang telah sarat dengan air tapi belum menurunkannya, seperti perempuan yang hampir datang haid tetapi belum haid. Seorang penyair berkata:“Ia berjalan perlahan, kerudungnya tergantung … telah memasuki usia balig atau hampir baligh.” Ada pula syair: “Perisai yang melindungiku dari musuh … adalah tiga gadis: dua telah dewasa dan satu baru masuk masa haid.” Dan yang lain menyairkan: “Ia tampak berseri seperti bunga daisy … dihiasi oleh tiupan angin timur dan awan-awan muda (mu’shirat) yang harum.”
Angin disebut “Mu’shirat” karena bisa menggerakkan debu, dan istilah itu juga digunakan untuk awan karena ia menurunkan hujan.
Qatadah juga berkata: “Al Mu’shirat” adalah langit. Menurut pendapat An Nahhas, semua pendapat ini benar. Disebut demikian karena angin membawa hujan, dan ia menghamili awan sehingga menghasilkan hujan. Bisa jadi semua pendapat itu dikompromikan maknanya: Bahwa Allah menurunkan air yang deras dari angin yang membawa awan-awan hujan.
Namun, pendapat paling kuat adalah bahwa “Al Mu’shirat” berarti awan. Karena yang dikenal umum, hujan turun dari awan, bukan langsung dari angin. Dalam kamus Ash Shihah, “Al Mu’shirat” adalah awan-awan yang memeras air hujan. Kata “A’shara Al Qaum” artinya: “kaum itu dituruni hujan.” Juga dari bacaan sebagian sahabat: “Wa fihi ya’shirun” (QS.Yusuf: 49) yaitu tentang memeras anggur.
“Al Mu’shir” juga berarti: gadis yang baru baligh, disebut demikian karena dia mulai masuk usia dewasa. Adapun “Al Mu’shir” untuk awan: adalah awan yang waktunya hampir menurunkan hujan. Demikian pula dikatakan: tanaman telah “menginjak musim panen”, begitu pula awan jika sudah dekat menurunkan hujan, dikatakan: “A’shara”.
Al Mubarrid berkata: Dikatakan “Sahabun Mu’shir” (awan mu’shir) yaitu awan yang menahan air, yang airnya diperas sedikit demi sedikit. Dari kata ini juga diambil istilah “‘’Ashar” (dengan harakat fathah), yaitu tempat berlindung yang dijadikan sebagai suaka atau perlindungan. Adapun “‘’Ushrah” (dengan dhammah) juga berarti tempat perlindungan. Makna ini telah disebutkan dalam Surah Yūsuf, dan segala puji bagi Allah.
Abū Zubaid berkata: “Shadiyyan yastaghitsu ghaira mughatsin… wa laqad kana ‘’ushrata al manjud” (Kehausan meminta pertolongan tetapi tak ditolong… dan sungguh dia dalam keadaan sempitnya orang yang menderita). Dari istilah ini juga, kata “Mu’shir” digunakan untuk menyebut seorang gadis yang hampir mencapai usia baligh. Disebut mu‘ṣirah karena ia dikurung atau dijaga di dalam rumah, maka rumah itu menjadi tempat penahanan atau “‘’Ashr” baginya.
Dalam qirā’ah (bacaan) Ibnu ‘’Abbas dan ‘Ikrimah, terbaca: “Wa anzalna bil mu’shirat.” Sedangkan dalam mushaf-mushaf Al-Qur’an yang beredar saat ini tertulis: “Min al mu’shirat”. Ubay bin Ka‘b, Al Hasan, Ibnu Jubayr, Zayd bin Aslam dan Muqatil bin Hayyan berkata bahwa “Min al mu’shirat” maksudnya “dari langit”.
“Ma-an Tsajjajan” artinya air yang mengucur deras dan terus-menerus. Riwayat dari Ibnu ‘’Abbas, Mujahid, dan lainnya menyatakan demikian. Dikatakan: Tsajjajtu damahu fa ana atsujjuhu tsajjan, artinya: aku menumpahkan darahnya maka aku menumpahkannya dengan tumpahan yang deras. Tsajja ad damu yatsijju tsujujan, demikian pula air. Kata kerja ini bisa bermakna lazim (tidak membutuhkan objek) maupun muta‘addi (membutuhkan objek).
Adapun dalam ayat, kata thajjāj bermakna yang tercurah deras.
Az Zajjaj berkata: maksudnya adalah air yang tercurah. Kata ini adalah fi‘il muta‘addi, seolah-olah “air itu menumpahkan dirinya sendiri”, artinya: ia mengalir atau tercurah.‘Ubayd bin al-Abras berkata:”Fa tsajja a’lahu tsumma irtajja asfaluhu… wa dhaqa dzar’an bi hamil al ma’i munshah” (Maka bagian atasnya tercurah, lalu bagian bawahnya bergetar… dan kesempitan menimpanya karena menanggung beratnya air yang melimpah). Dalam hadis Nabi ﷺ, beliau ditanya tentang haji mabrur, beliau menjawab:
“Al ‘ajju wa ats tsajju.”
Al “ajj adalah meninggikan suara dalam talbiyah, sedangkan ats tsajj adalah menyembelih hewan kurban dan menumpahkan darah (sebagai bentuk ibadah). Ibnu Zayd berkata: Tsajjajan artinya banyak atau melimpah. Maknanya tetap sama: air yang banyak, tercurah, dan terus-menerus.(Al Jami‘ Li Ahkam Al Quran, 19/172-175, cet. Dar Alam Al Kutub, Riyadh).
Kemudian Imam Ibnu Katsir rahimahullah (w. 774 H) menjelaskan pula dalam tafsirnya:
Al ‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘’Abbas: ““Al Mu’shirat” adalah angin. Ibnu Abi Hatim berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, dari Abu Dawud Al Hafari, dari Sufyan, dari Al A’masy, dari Al Minhal, dari Sa’id bin Jubayr, dari Ibnu ‘Abbas: “Wa anzalna mina al mu’shirat” ia berkata: itu adalah angin. Demikian juga dikatakan oleh ‘Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Muqatil, Al Kalbi, Zayd bin Aslam dan anaknya ‘’Abdurrahman: bahwa itu adalah angin. Makna dari pendapat ini adalah bahwa angin itu memerah (mengeluarkan) hujan dari awan.
‘‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Mina al mu’shirat” maksudnya adalah dari awan. Demikian pula pendapat ‘Ikrimah, Abul ‘Aliyah, Adh Dhahhak, Al Hasan, Rabi‘ bin Anas, dan Ats Tsauri. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari. Al Farra’ berkata: Yang dimaksud adalah awan yang mulai meneteskan air hujan namun belum sepenuhnya turun. Sebagaimana dikatakan tentang seorang wanita “Mu’shir” jika masa haidnya hampir datang tapi belum keluar.
Al Hasan dan Qatadah juga mengatakan: “mina al mu’shirat” artinya dari langit. Ini merupakan pendapat yang ganjil (jarang). Yang lebih kuat adalah bahwa yang dimaksud “Al Mu’shirat” adalah awan, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:
“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS. Ar Rum: 48)
Mujahid, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas berkata: “Tsajjaja” artinya tercurah deras. Ats Tsauri berkata: artinya terus-menerus (me-ngalir tiada henti). Ibnu Zayd berkata: artinya banyak. Ibnu Jarir berkata: Tidak dikenal dalam bahasa Arab bahwa kata “Tsajj” digunakan untuk menunjukkan makna “banyak”. Yang benar, makna “Tsajj” adalah curahan yang terus-menerus. Contohnya adalah sabda Nabi ﷺ: “Sebaik-baik haji adalah al ‘ajj dan ats tsajj.” Yang dimaksud dengan ats tsajj di sini adalah menyembelih hewan kurban dan menumpahkan darah unta secara banyak. Saya (perawi) berkata: Dalam hadis tentang wanita istihadhah (pen-darahan terus-menerus), Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:
“Akan aku anjurkan kepadamu menggunakan kapas (untuk menyumbat darah).” Lalu wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, itu tidak cukup, sesungguhnya aku ‘atsujju tsajjan’ (mengalir deras).”
Hadis ini menunjukkan bahwa kata “Tsajj” dipakai dalam konteks curahan deras yang terus-menerus, wallahu a’lam.(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/303-304, cet. Dar Thayyibah, Riyadh).
Berikutnya Syaikh As Sa‘di rahimahullah (w. 1376 H) menyampaikan dalam tafsirnya:
﴿وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ﴾ أَيِ: السَّحَابِ، ﴿مَاءً ثَجَّاجًا﴾ أَي: كَثِيرًا جِدًّا
““Dan Kami turunkan dari awan” yakni: dari mendung, “air yang banyak tercurah,” yakni: sangat banyak.” (Taysir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan, hlm. 1072, cet. Dar Ibn Al Jauzi, Dammam).
Wallahu a’lamu bishshawab.