Tafsir An-Naba’ Ayat 16
Bismillah, walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du. Insyaallah kita akan mentadabburi surah An Naba’ ayat ke 16 melalui beberapa tafsir dari para ulama berikut.
Allah Ta’ala berfirman:
وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا
“Dan kebun-kebun yang lebat?” (Q.S An Naba’: 16)
Imam Ath Thabari rahimahullah (w. 310 H) menjelaskan dalam tafsirnya:
“Ia berfirman (yang bermakna): Dan agar Kami mengeluarkan dengan hujan tersebut “Jannat”, yaitu taman-taman. Allah berfirman: “Dan kebun-kebun…”, maksudnya adalah buah dari kebun-kebun itu, namun penyebutan buah ditinggalkan karena makna kalimat telah mencukupinya (sudah dipahami dari konteksnya). Kemudian firman Allah: “…Yang lebat” Maknanya berbelit-belit dan saling menyatu satu dengan yang lain.
Para ahli yang tafsir menyatakan makna serupa: Diriwayatkan dari ‘’Ali, dari Abu Shalih, dari Mu’awiyah, dari ‘Ali, dari Ibnu ‘Abbas, tentang firman Allah: “Dan kebun-kebun yang lebat?” ia berkata: “Saling berkumpul (berhimpun).” Diriwayatkan dari Muhammad bin Sa‘d, dari ayahnya, dari pamannya, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu ‘Abbas: “Dan kebun-kebun yang lebat?” , ia berkata: “Kebun-kebun yang saling melilit satu sama lain.” Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Amr, Abu ‘Ashim, ‘Isa, Al Harits, Hasan Al Bashri, dan Warqa’’, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid (firman Allah) “Dan kebun-kebun yang lebat?” ia berkata: “Saling membelit.” Diriwayatkan oleh Bisyr, dari Yazid, dari Sa’id, dari Qatadah (firman Allah) “Dan kebun-kebun yang lebat?” ia berkata: “Sebagiannya melilit sebagian yang lain.” Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil A’la, dari Ibnu Tsaur, dari Ma‘mar, dari Qatadah (firman Allah) “Dan kebun-kebun yang lebat?” ia berkata: “Sebagian kebun melilit yang lainnya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Humaid, dari Mihran, dari Sufyan (firman Allah) “Dan kebun-kebun yang lebat?” ia berkata: “Berbelit-belit.” Diriwayatkan oleh Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Zayd (firman Allah) “Dan kebun-kebun yang lebat?” ia berkata: “Yaitu yang berbelit-belit, sebagian di atas sebagian lainnya.”
Ulama bahasa berbeda pendapat tentang bentuk tunggal dari “Alfaf”, sebagian ahli nahwu dari Bashrah mengatakan: bentuk tunggalnya adalah “Laff”. Sebagian ahli nahwu dari Kufah mengatakan: bentuk tunggalnya bisa “Liff” atau “Lafif”. Bila engkau menghendaki maka “Alfaf” merupakan bentuk jamak dari bentuk jamak lainnya. Misalnya engkau berkata: “Jannah Laffa'” dan “Jannat Laffa'” kemudian kata “Al Liffu” dijamakkan lagi menjadi “Alfaf”. Pendapat lain mengatakan: tidak pernah terdengar satu pohon pun disebut “Laffah”. Tetapi bentuk tunggalnya adalah “Laffa'” , jamaknya “Liffun”, lalu “Liffun” dijamakkan menjadi “Alfaf” sehingga ini disebut “Jam‘u jam‘in” (jamak dari bentuk jamak).
Pendapat yang paling kuat adalah bahwa “Alfafa” adalah bentuk jamak dari “Laff “ atau “Lafif”, karena seluruh ahli tafsir sepakat bahwa maknanya adalah berbelit-belit atau saling melilit. Sedangkan kata “Laffa'” berarti “yang tebal” atau “padat”, dan maknanya tidak berkaitan langsung dengan kata “berbelit” kecuali jika dimaknai sebagai ketebalan karena keterbelitan, maka itu bisa dianggap sebagai makna yang sah.” (Jami‘ Al Bayan Fi Ta’wil Ay Al Quran, 24/16-17, cet. Dar Hajar, Kairo).
Lalu Imam Al Qurthubi rahimahullah (w. 671 H) menjelaskan dalam tafsirnya:
“Dan kebun-kebun yang lebat?” maksudnya adalah taman-taman. “Alfafan” berarti yang saling melilit satu sama lain, disebabkan karena rimbunnya cabang-cabang pepohonannya. Kata “Alfaf” tidak memiliki bentuk tunggal, sebagaimana kata “Al Auza'” (kelompok-kelompok) dan “Al Akhyaf” (lapisan-lapisan). Ada pula yang berpendapat bahwa bentuk tunggal dari “Alfaf” adalah “Liff” dengan kasrah (pada lam) atau “Luff” dengan dhammah (pada lam), sebagaimana yang disebutkan oleh Al Kisai, yang berkata: “Jannatun luffun wa’aisyun mughdziq … wanadama kulluhum bidhun zuhrun” (Kebun yang lebat, hidup yang berkah, dan teman-teman pesta semuanya tampan dan rupawan).
Diriwayatkan juga darinya serta dari Abu ‘Ubaidah, bahwa bentuk tunggalnya adalah “Lafif” sebagaimana kata “Syarif” dan bentuk jamaknya “Asyraf”. Dikatakan pula bahwa “Alfaf” adalah bentuk jamak dari bentuk jamak lainnya, sebagaimana diriwayatkan dari Al Kisai. Disebutkan “Jannah laffa’” (kebun yang rimbun), “Nabatun liff” (tanaman yang lebat), dan jamaknya adalah “Luff” dengan dhammah pada lam seperti kata “Humr” (merah), lalu “Luff” itu dijamakkan lagi menjadi “Alfaf”. Az Zamakhsyari mengatakan: “Jika dikatakan bahwa itu adalah bentuk jamak dari ‘Multaffah’ (yang saling melilit), dengan menghapus tambahan-tambahan hurufnya, maka itu adalah pendapat yang masuk akal.”
Juga dikatakan”Syajarah laffa’” (Pohon yang rimbun) dan ”Syajarah laff” (pepohonan yang saling berhimpun). Seorang wanita disebut “Mar-ah laffa'” jika betisnya besar dan dagingnya padat (berisi). Ada pula pendapat bahwa maksud ayat adalah: “Dan Kami mengeluarkan dengan air itu kebun-kebun yang rimbun.” Lalu kata kerja “mengeluarkan” dihilangkan karena sudah dipahami dari konteks kalimat. Maksud dari kata ‘rimbun dan berhimpun’ ini adalah bahwa pepohonan dalam kebun tersebut sangat berdekatan, sehingga cabang-cabangnya dari setiap pohon saling bersisian karena kekuatannya dan kesuburannya.” (Al Jami‘ Li Ahkam Al Quran, 19/174-175, cet. Dar Alam Al Kutub, Riyadh).
Kemudian Imam Ibnu Katsir rahimahullah (w. 774 H) menjelaskan pula dalam tafsirnya:
“Artinya: kebun-kebun dan taman-taman yang berisi beraneka ragam buah-buahan, warna-warna yang berbeda, serta rasa dan aroma yang bervariasi, meskipun semuanya tumbuh di satu wilayah bumi yang sama dan berdekatan. Oleh karena itu, Allah berfirman:“Dan kebun-kebun yang lebat?” . Ibnu ‘Abbas dan selainnya berkata: “Alfafa” artinya adalah berkumpul atau saling berhimpitan. Hal ini serupa dengan firman Allah Ta‘ala: “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Ra‘d: 4)” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/304, cet. Dar Thayyibah, Riyadh).
Berikutnya Syaikh As Sa‘di rahimahullah (w. 1376 H) menyampaikan dalam tafsirnya:
“Yaitu: kebun-kebun yang rimbun, yang di dalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan yang lezat.Maka Dzat yang telah menganugerahkan kepada kalian nikmat-nikmat agung ini yang tidak mungkin dapat diukur nilainya dan tak terhitung jumlahnya, bagaimana mungkin kalian kufur kepada-Nya dan mendustakan kabar-Nya tentang kebangkitan dan hari berbangkit? Atau bagaimana kalian menggunakan nikmat-nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya dan mengingkarinya?” (Taysir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan, hlm. 1072, cet. Dar Ibn Al Jauzi, Dammam).
Wallahu a’lamu bishshawab.