HomeAqidahLarangan Merayakan Hari Raya Orang Kafir dalam Islam dan Dalil-Dalilnya

Larangan Merayakan Hari Raya Orang Kafir dalam Islam dan Dalil-Dalilnya

Published on

Larangan Merayakan Hari Raya Orang Kafir

Salah satu ujian besar bagi umat Islam adalah kebiasaan sebagian dari kita meniru orang ajaran kaum Yahudi dan Nasrani, terutama dalam merayakan Natal (25 Desember) dan Tahun Baru (1 Januari). Banyak yang ikut berpesta dan bergembira, bahkan ada yang pergi ke luar negeri untuk merayakannya, padahal di sana banyak kemungkaran seperti minuman keras dan pergaulan bebas.

Para ulama sejak dahulu telah mengingatkan agar umat Islam tidak ikut dalam perayaan agama lain, karena hal itu bisa mengikis iman dan jati diri Islam seseorang.

Tulisan ini berusaha menjelaskan secara singkat hukum larangan merayakan perayaan tersebut, berdasarkan tuntunan Allah, Rasul-Nya, dan pandangan para ulama yang terpercaya. Semoga menjadi penerang bagi hati yang masih ragu dan jawaban bagi yang masih mencari, agar kita senantiasa menjaga kemurnian iman dan tidak terbawa oleh kebiasaan yang menjauhkan dari ajaran Islam.

Dalil dali Larangan Mengikuti Kebiasaan dan Perayaan Orang-Orang Non-Muslim

Dali dari Al Quran:

Allah ta’ala berfirman:

قال تعالى: ﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ﴾

Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa memohon agar ditunjukkan ke jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya — yaitu para nabi, orang-orang jujur (ṣiddīqīn), para syuhada, dan orang-orang saleh — serta dijauhkan dari jalan mereka yang dimurkai dan sesat.

Adapun orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi, dan yang sesat adalah Nasrani, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

»اليَهُودُ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ، وَالنَّصَارَى ضُلَّالٌ«

“Orang-orang Yahudi adalah yang dimurkai, dan orang-orang Nasrani adalah yang sesat.”
(HR. at-Tirmiżī, no. 2953, dari ‘Adiyy bin Ḥātim ra., dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albānī dalam Ṣaḥīḥ at-Tirmiżī).

Dari ayat dan hadis ini, dapat dipahami bahwa umat Islam dilarang mengikuti jalan mereka, karena jalan mereka bukanlah jalan yang lurus. Maka, perayaan dan hari besar mereka pun termasuk bagian dari jalan tersebut, sehingga tidak layak diikuti oleh kaum Muslimin.

Allah ﷻ juga berfirman:

﴿ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ﴾ [الجاثية: 18]

Artinya: “Kemudian Kami jadikan engkau (wahai Muhammad) berada di atas suatu syariat dari urusan (agama), maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau mengikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.”

Ayat ini menegaskan bahwa Allah ﷻ menempatkan Nabi Muhammad ﷺ di atas syariat yang benar, memerintahkannya untuk mengikutinya dengan teguh, serta melarang mengikuti hawa nafsu orang-orang yang sesat. Allah menyebut mereka sebagai “orang yang tidak mengetahui” karena mereka menjalankan agama bukan berdasarkan ilmu, tetapi berdasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu, ayat ini mencakup siapa saja yang menyimpang dari syariat, seperti Yahudi dan Nasrani, dan siapa saja yang meniru kebiasaan atau perayaan mereka hanya karena mengikuti hawa nafsu, tanpa memperhatikan ajaran Rasulullah ﷺ.

Orang yang ikut serta merayakan perayaan perayaan orang kafir mereka sejatinya adalah orang memliki rasa wala dan cinta kepada mereka Allah berfirman:

وقال عز وجل: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين﴾ [المائدة:51]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (penolong)mu; sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai wali, maka ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

قال العلماء: ومن موالاتهم التَّشبُّه بهم، وإظهارُ أعيادهم.

Para ulama menjelaskan bahwa salah satu bentuk “wala’” kepada mereka adalah dengan meniru kebiasaan dan menampakkan perayaan mereka. (Lihat: Tashbīh al-Khasīs bi-Ahl al-Khamīs, hlm. 23)

Dalil Dari Hadis Nabi :

Nabi ﷺ bersabda:

عن عائشة قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ( يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا )

Artinya: “Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya mereka, dan ini adalah hari raya kita.” ([HR. al-Bukhārī (909) dan Muslim (892)])

Hadis ini menunjukkan bahwa setiap umat memiliki hari raya khusus yang tidak dibagi dengan umat lain, dan umat Islam memiliki hari raya mereka sendiri. Jika Yahudi dan Nasrani memiliki hari raya mereka, maka umat Islam tidak ikut merayakannya.

‘Umar RadhiyaAllahu’anhu berkata:

(اجتنبوا أعداء الله في عيدهم)

“Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari raya mereka” ([HR. al-Baihaqī, al-Kubrā 9/234; juga dalam Syubu al-Īmān 9385]).

Abdullah bin ‘Umar RadhiyaAllahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:

(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ(

“Barangsiapa yang meyerupai seorang kaum maka dia termasuk bagian dari mereka”. ([HR. Abū Dāwūd 4031, disahihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm 1/240, dan Syaikh al-Albānī dalam al-Irwā’ 1269]).

Maksudnya Meniru orang-orang kafir, termasuk dalam hal perayaan mereka, dan haram dilakukan karena perbuatan itu termasuk ajaran atau simbol agama dari keyakinan mereka.

Abdullah bin ‘Amr RadhiyaAllahu’anhu berkata:

“Barangsiapa tinggal di negeri kaum asing, meniru perayaan mereka, dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan mereka sampai meninggal, maka ia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat” ([HR. al-Baihaqī, al-Kubrā 9/234; disahihkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Iqtiḍā’ 1/513, dan Ibnu Qayyim dalam Aḥkām Ahl adh-Dhimmah 1/157]).

Ini menunjukkan bahwa meniru perayaan mereka termasuk dosa besar yang dapat menjerumuskan seseorang masuk ke dalam neraka.

Diriwayatkan juga dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi ﷺ bersabda:

)لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟!(

Artinya: “Kamu akan mengikuti jejak-jejak umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta; hingga jika mereka memasuki sarang kadal, kamu pun akan mengikutinya. Kami bertanya: ‘Apakah orang-orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau menjawab: ‘Siapa lagi?’” ([HR. al-Bukhārī 3269, Muslim 2669])

Dalam hadis ini Nabi ﷺ memperingatkan bahwa umat Islam akan mengikuti kebiasaan buruk umat sebelumnya, termasuk Yahudi dan Nasrani, dalam hal-hal yang dilarang dan dibenci oleh syariat termasuk di dalamnya merayakan haru raya mereka. Hal ini menunjukkan teguran bagi siapa saja yang meniru mereka, sekaligus menjadi salah satu tanda kenabian dan mukjizat nyata dari Nabi Muhammad ﷺ, karena apa yang beliau sabdakan terbukti terjadi pada hari ini.

Dan larangan ini merupakan ijma’ kesepakatan kaum muslimin dan ini terjadi bahkan dimasa pemerintahan Umar bin Al Khatab sewaktu beliau berhasil menakhlukan Syam, beliau memberikan syarat bagi kaum yahudi dan kaum nasrani yang masih ingin tinggal di kediaman mereka dan syarat ini dikena dengan “الشروط العُمرية” syarat syarat umar, dan mereka pun setuju dengan syarat tersbut, diantara syarat tersebut adalah

ألَّا يظهروا شيئًا من شعائرهم بين المسلمين، لا الأعياد ولا غيرها، فقال: (وألَّا نخرج بَاعُوثًا ولا

“dilarang bagi mereka menampakkan sesuatu dari simbol-simbol agama mereka di tengah kaum Muslimin, baik hari raya maupun selainnya. Umara berkata: Jangan sampai mereka mengadakan Ba‘ūth atau Syā‘ānīn.” ([HR. al-Baihaqī 9/202])

Imam Ahmad menjelaskan dalam riwayat putranya, Shaleh

Makna Ba‘ūth: adlah salah satu hari raya mereka yang mana mereka keluar menujnuju tanah lapang seperti kita keluar saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Makna Syā‘ānīn: merupakan perayaan mereka juga, jatuh pada hari Minggu sebelum Paskah, memperingati masuknya Nabi ‘Īsā ke Baitul Maqdis.

Ibnu Taimiyyah – rahimahullāh – berkata mengomentari hadis tersebut:

“فإذا كان المسلمون قد اتفقوا على منعهم مِن إظهارها، فكيف يسوغ للمسلمين فعلها؟!”

“Jika umat Islam telah sepakat melarang mereka menampakkan hal itu, bagaimana mungkin umat Muslim membenarkan untuk melakukannya?” (Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, 1/326)

para ulama juga sepakat bahwa menghadiri perayaan kaum kafir dan membantu mereka dalam perayaan tersebut adalah haram. Hal ini ditegaskan oleh para fuqaha dari empat madzhab dalam kitab-kitab mereka.

  1. Mazhab Hanafi: Ibnu Nujaym al-Hanafi dalam menjelaskan jenis-jenis kekufuran berkata:

“Hadir pada perayaan Nairuz orang Majusi, menyetujui apa yang mereka lakukan pada hari itu, membeli sesuatu pada hari Nairuz yang sebelumnya tidak dibeli untuk menghormati Nairuz (bukan untuk makan/minum), atau memberikannya sebagai hadiah kepada orang musyrik, meskipun hanya sebutir telur, untuk memuliakan hari itu, semuanya termasuk menyetujui kekufuran mereka.” ([Al-Baḥr ar-Rā’iq 5/133]; lihat juga Ad-Durr al-Mukhtār 6/754, Al-Fatāwā al-Hindiyyah 6/446)

  1. Mazhab Maliki: Abdul Malik bin Habib berkata:

“Ibnu al-Qāsim ditanya tentang menaiki kapal bersama Nasrani untuk perayaan mereka, beliau menganggapnya makruh karena takut kemurkaan Allah turun akibat kesyirikan mereka. Ia juga menganggap makruh seorang Muslim memberi hadiah kepada Nasrani pada hari raya mereka karena itu termasuk menghormati hari raya mereka dan membantu mereka dalam kekufuran. Tidak halal bagi Muslim menjual atau memberikan sesuatu dari kebutuhan perayaan mereka, baik daging, pakaian, hewan, atau jasa apapun, karena itu termasuk memuliakan kesyirikan mereka. Para penguasa harus melarang umat Muslim melakukannya.” (Ibnu Taimiyyah, Iqtiḍā’ aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm 1/19; Ibnu Qayyim, Aḥkām Ahl adh-Dhimmah 1/157).

  1. Mazhab Syafi’i: Abu al-Qāsim Hibatullāh bin al-Ḥasan bin Manṣūr al-Ṭabarī berkata:

“Tidak boleh bagi Muslim menghadiri perayaan mereka karena perayaan itu penuh kemungkaran dan kebatilan. Jika orang-orang saleh bercampur dengan pelaku kemungkaran tanpa menegur, mereka dianggap setuju dan membantu kemungkaran itu. Kita khawatir kemurkaan Allah menimpa mereka dan menyebar kepada semua, na‘udzubillāh min sakhatihi.” (Ibnu Qayyim, Aḥkām Ahl adh-Dhimmah 1/156).

  1. Mazhab Hanbali: Imam Abu al-Ḥasan al-Āmidī, dikenal sebagai Ibnu al-Baghdādī, dalam kitabnya ‘Umdat al-Ḥāḍir wa Kifāyat al-Musāfir menulis:

“Bab: Tidak boleh menghadiri perayaan Nasrani dan Yahudi. Hal ini dinyatakan oleh Ahmad dalam riwayat Muhanna, dan ia berargumen dengan firman Allah:

 ﴿وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ﴾

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kebatilan (dengan persetujuan atau ikut serta).”  [al-Furqān:72].

Termasuk larangan dalam ayat ini adalah perayaan mereka.” (Lihat : Al-Furū‘ Ibnu Muflih 5/235).

Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A.
Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A.
Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A. S1 hadis UIM, S2 Aqidah UIM. Saat ini menempuh program S3 Aqidah di UIM.

Latest articles

Kafarah Sumpah: Antara Janji dan Sumpah!

Kaffarah Sumpah: Apakah Sama ‘Janji’ dengan ‘Sumpah’? Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali mengucap sumpah,...

Keutamaan Membaca Surah al-Fatihah

Keutamaan Membaca Surah al Fatihah: Kunci Rahmat dan Inti Ibadah Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala...

Aurat dalam Shalat: Batasan Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ulama

Perbedaan Aurat Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat Shalat adalah ibadah langsung antara hamba dengan Rabb-nya....

Tafsir Surat An-Naba’ 23

Tafsir An-Naba' Ayat 23: Apakah Azab Neraka Akan Berakhir Bismillah, walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba'du. Salah satu ayat yang paling menggugah...

More like this

Kafarah Sumpah: Antara Janji dan Sumpah!

Kaffarah Sumpah: Apakah Sama ‘Janji’ dengan ‘Sumpah’? Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali mengucap sumpah,...

Keutamaan Membaca Surah al-Fatihah

Keutamaan Membaca Surah al Fatihah: Kunci Rahmat dan Inti Ibadah Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala...

Aurat dalam Shalat: Batasan Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ulama

Perbedaan Aurat Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat Shalat adalah ibadah langsung antara hamba dengan Rabb-nya....