HomeAdab & AkhlakHukum Seputar Khitan

Hukum Seputar Khitan

Published on

Hukum Seputar Khitan

Pendahuluan

Sesungguhnya, jika seseorang memperhatikan keadaan sebagian umat Islam masa kini, akan tampak bahwa di antara mereka terdapat kejahilan yang nyata serta penyimpangan yang jelas dari fitrah yang Allah telah menciptakan mereka atasnya. Banyak di antara mereka yang meniru Barat dalam pakaian dan penampilan, hingga menyalahi identitas Islam yang luhur.

Salah satu bentuk penyimpangan itu adalah ketidaktahuan sebagian kaum Muslimin tentang hukum-hukum seputar khitan, bahkan ada yang menentangnya dan berupaya menghapus sunnah yang agung ini, baik karena kebodohan maupun kebencian terhadap ajaran Islam.

Makna Khitan dalam Bahasa

Secara etimologis, “khitan” (الختان) berasal dari kata al-khatn (الختن) yang berarti memotong. Kata “khitan” juga digunakan untuk menyebut tempat pemotongan kulit pada kemaluan, yaitu kulit penutup kepala zakar (qulfah) pada laki-laki, dan bagian kulit kecil di atas tempat masuknya alat kelamin (nawah) pada perempuan.

Dalam bahasa Arab, “al-khitan” bisa digunakan untuk menyebut tindakan memotong maupun bagian yang dipotong. Ada pula yang membedakan antara keduanya: khitan digunakan untuk laki-laki, sedangkan khafd (الخفض) untuk perempuan. Adapun al-i‘dzar (الإعذار) merupakan istilah yang mencakup keduanya, yakni tindakan khitan secara umum. (Lihat: (Al-Qāmūs al-Muḥīṭ karya al-Fairūzābādī, jilid 3, halaman 1983; Lisān al-‘Arab karya Ibn Manẓūr, jilid 4, halaman 26).).

Makna Khitan Secara Istilah

Secara terminologis, pengertian khitan menurut para fuqaha (ahli fikih) tidak jauh berbeda dari makna bahasa. Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar (al-hasyafah), sehingga kepala zakar tampak seluruhnya. Sedangkan bagi perempuan, khitan adalah memotong bagian kecil yang menonjol seperti jengger ayam yang berada di atas lubang kencing.

Para fuqaha menyebutkan bahwa disunnahkan agar pemotongan pada perempuan tidak berlebihan, melainkan cukup sedikit saja. Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ kepada Ummu ‘Athiyyah —seorang perempuan di Madinah yang biasa melakukan khitan:

 لا تَنْهَكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

“Jangan berlebihan dalam memotong, karena hal itu lebih baik bagi perempuan dan lebih disukai oleh suami.” (Diriwayatkan oleh ath-Ṭabarānī dalam al-Mu‘jam al-Awsath no. 2274 dan al-Baihaqī dalam as-Sunan al-Kubrā 8/324).

Asal-usul dan Sejarah Khitan

Jika kita menelusuri nash-nash syariat, akan tampak bahwa khitan telah dikenal sejak zaman Nabi Ibrāhīm عليه السلام, kekasih Allah yang mulia. Ia adalah orang pertama yang melakukan khitan dan menjadikannya bagian dari kesempurnaan agama tauhid.

Dalam hadis sahih disebutkan:

اِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً

“Ibrāhīm berkhitan ketika berusia delapan puluh tahun.” (HR. al-Bukhārī no. 3356, Muslim no. 2270).

Khitan kemudian dilestarikan oleh para nabi setelahnya, termasuk Nabi ‘Īsā  ‘Alaihissalam (Yesus), yang menurut keyakinan umat Nasrani juga telah dikhitan, dan mereka sendiri tidak mengingkari hal itu.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

 أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ: الْحَيَاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ، وَالنِّكَاحُ

“Empat perkara termasuk sunnah para rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.” (HR. Ahmad 5/421).

Hukum Khitan dalam Syariat

Khitan merupakan salah satu ajaran fitrah yang disyariatkan dalam Islam. Dalam hadis sahih disebutkan dari Abu HurairahRadhiallahu’anhu  bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

 الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الِاخْتِتَانُ، وَالاسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبِطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ

“Fitrah itu ada lima: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kumis, dan memotong kuku.” (HR. al-Bukhārī no. 6297, Muslim no. 257).

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya antara wajib dan sunnah muakkadah, namun mereka sepakat bahwa khitan disyariatkan bagi laki-laki dan perempuan.

Dalil umumnya adalah firman Allah Ta‘ālā:

 أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا

“Hendaklah ikuti agama Ibrāhīm yang lurus.” (QS. an-Naḥl: 123)

Ayat ini menunjukkan perintah untuk mengikuti Nabi Ibrāhīm  ‘Alaihissalam dalam semua syariatnya, termasuk khitan, kecuali hal-hal yang ada dalil khusus yang menegaskan hukumnya hanya sunnah seperti siwak.

Dalam Syarh as-Sunnah karya al-Baghawī (jilid 6, hlm. 122), beliau menulis: “Hadis tentang lima perkara fitrah menunjukkan bahwa semuanya adalah sunnah, kecuali khitan. Tentang khitan, para ulama berbeda pendapat. Banyak di antara mereka mengatakan bahwa khitan adalah wajib, bahkan Ibnu ‘Abbās sangat menegaskan hal itu. Ia berkata: ‘Orang yang belum berkhitan tidak diterima kesaksiannya, tidak sah sembelihannya, dan tidak sah shalatnya.’

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin  Rahimahullah berkata: “Pendapat yang paling kuat adalah bahwa khitan wajib bagi laki-laki, dan sunnah bagi perempuan. Alasan perbedaan ini adalah bahwa bagi laki-laki, khitan berkaitan langsung dengan syarat sahnya thaharah (kesucian), sebab jika kulit penutup zakar tidak dipotong, maka air kencing akan tersisa di bawahnya dan menyebabkan najis. Adapun bagi perempuan, tujuannya lebih kepada mengurangi syahwat, bukan menghilangkan najis. Maka ia termasuk penyempurna fitrah, bukan penghilang gangguan.” (Lihat: asy-Syarh al-Mumti‘, 1/133–134).

Demikian pula pendapat Imam Ahmad  Rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Ibn Qudāmah dalam al-Mughnī (1/115):

 فأما الختان فواجب على الرجال، ومَكْرُمَة في حق النساء، وليس بواجب عليهن

“Khitan adalah wajib bagi laki-laki, dan kemuliaan (makrumah) bagi perempuan, bukan kewajiban atas mereka.”

Waktu yang Disyariatkan untuk Khitan

Tidak terdapat dalil tegas dalam syariat tentang waktu tertentu untuk melaksanakan khitan. Maka hukumnya luwes, selama dilakukan sebelum baligh, dengan mempertimbangkan kemaslahatan anak.

Imam Ahmad ketika ditanya tentang waktu khitan menjawab: “Aku tidak tahu, aku tidak mendengar adanya hadis yang sahih tentang hal itu.”

Namun, para ulama seperti Imam an-Nawawī menganjurkan agar khitan dilakukan di masa kecil, karena lebih ringan bagi anak dan agar ia tumbuh dalam keadaan sempurna. Beliau berkata:

يستحب للولي أن يختن الصغير في صغره ؛ لأنه أرفق به اهـ

“Disunnahkan bagi wali untuk mengkhitankan anaknya di masa kecil, karena itu lebih lembut baginya.” (al-Majmū‘, 1/351).

Beberapa riwayat juga menunjukkan bahwa waktu terbaik adalah hari ketujuh setelah kelahiran, sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir Radhiallahu’anu:

عَقَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين ، وختنهما لسبعة أيام

“Rasulullah ﷺ mengaqiqahi al-Hasan dan al-Husain serta mengkhitankan keduanya pada hari ketujuh.” (HR. al-Baihaqī, 8/324, dari Jabir Radhiallahu’anhu ).

Waktu Wajibnya Khitan

Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban khitan baru berlaku setelah baligh, karena taklif (beban hukum) tidak berlaku sebelum baligh. Ini adalah pendapat mazhab Syafi‘iyah dan Hanabilah, serta pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. (Lihat: Al-Inṣāf, jilid 1, halaman 282; Al-Majmū‘, jilid 1, halaman 351; Al-Fatāwā, jilid 21, halaman 113; Tuḥfat al-Wadūd, halaman 11).

Dalilnya antara lain riwayat al-Bukhārī (hal. 10) dari Sa‘īd bin Jubair, bahwa ia berkata: “Ibnu ‘Abbās Radhiyallahu’anhuma ditanya: Berapa umurmu ketika Rasulullah ﷺ wafat?” Ia menjawab: “Aku waktu itu sudah dikhitan.” Lalu ia menambahkan: “Dahulu mereka tidak mengkhitankan seseorang hingga ia mendekati usia baligh.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seseorang boleh berkhitan kapan saja, namun jika ia telah mendekati masa baligh, maka hendaknya segera berkhitan, sebagaimana kebiasaan bangsa Arab, agar ia tidak mencapai usia baligh kecuali sudah dikhitan.” (al-Fatāwā al-Kubrā, 1/275).

Penutup

Khitan merupakan salah satu syariat yang indah dan penuh hikmah, yang Allah tetapkan untuk menyempurnakan kemuliaan manusia, baik lahir maupun batin. Ia termasuk bagian dari kesempurnaan fitrah yang Allah ciptakan pada diri manusia . Maka, melestarikan khitan berarti menjaga kemurnian fitrah dan ajaran Islam. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang berpegang teguh pada fitrah, menjaga syariat, dan menghormati sunnah Rasul-Nya ﷺ. Wallahua’lam…

Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A.
Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A.
Ustadz M. Faqihudin Ismail, B.A, M.A. S1 hadis UIM, S2 Aqidah UIM. Saat ini menempuh program S3 Aqidah di UIM.

Latest articles

Kafarah Sumpah: Antara Janji dan Sumpah!

Kaffarah Sumpah: Apakah Sama ‘Janji’ dengan ‘Sumpah’? Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali mengucap sumpah,...

Keutamaan Membaca Surah al-Fatihah

Keutamaan Membaca Surah al Fatihah: Kunci Rahmat dan Inti Ibadah Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala...

Aurat dalam Shalat: Batasan Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ulama

Perbedaan Aurat Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat Shalat adalah ibadah langsung antara hamba dengan Rabb-nya....

Tafsir Surat An-Naba’ 23

Tafsir An-Naba' Ayat 23: Apakah Azab Neraka Akan Berakhir Bismillah, walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba'du. Salah satu ayat yang paling menggugah...

More like this

Kafarah Sumpah: Antara Janji dan Sumpah!

Kaffarah Sumpah: Apakah Sama ‘Janji’ dengan ‘Sumpah’? Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali mengucap sumpah,...

Keutamaan Membaca Surah al-Fatihah

Keutamaan Membaca Surah al Fatihah: Kunci Rahmat dan Inti Ibadah Bismillah, walhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala...

Aurat dalam Shalat: Batasan Laki-Laki dan Perempuan Menurut Ulama

Perbedaan Aurat Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat Shalat adalah ibadah langsung antara hamba dengan Rabb-nya....