Ayah Tidak Ada, Siapa Wali Nikah yang Sah? Ini Urutan Lengkap dan Ketentuannya
Pertanyaan:
Assalamualaikum Ustadz, mohon penjelasan tentang urutan wali nikah. Misalnya kalau ayah sudah tidak ada, siapa yang jadi walinya?
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillah walhamdulillah, amma ba’d.
Terima kasih atas pertanyaannya. Ini termasuk hal yang sering ditanyakan, dan memang sangat penting karena menyangkut sah tidaknya sebuah pernikahan. Kadang, niat sudah baik, calonnya sudah cocok, tetapi ada yang terlewat dari syariat; yaitu soal wali nikah.
Contohnya, ada seorang ibu yang dinikahkan oleh anak laki-lakinya, padahal ayahnya (kakek dari si anak) masih hidup. Banyak yang mengira bahwa yang penting ada laki-laki dari keluarga yang menikahkan, maka itu cukup. Tapi, apakah demikian menurut syariat?
Dalam Islam, wali nikah adalah syarat sahnya pernikahan. Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ»
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali.”
(HR. Abu Daud, dan disahihkan oleh Al-Albani)
Artinya, pernikahan tidak bisa sah tanpa keterlibatan wali yang sah menurut syariat. Lalu siapa saja yang berhak menjadi wali?
Para ulama menjelaskan urutan wali nikah sebagai berikut:
- Ayah kandung
- Kakek dari ayah
- Anak laki-laki si wanita (jika ia janda dan punya anak laki-laki yang baligh)
- Saudara laki-laki sekandung
- Paman (saudara laki-laki ayah)
- Kerabat laki-laki yang lebih jauh, sesuai urutan kekerabatan
Jika semua wali ini tidak ada atau tidak memenuhi syarat, barulah hakim syar’i yang menggantikan. Rasulullah ﷺ bersabda:
«السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ»
“Penguasa (hakim) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud, dan disahihkan oleh Al-Albani)
Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan bahwa wali hakim adalah:
“Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya yang bertugas sebagai wali dalam akad nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali nasab atau apabila wali nasab tidak memungkinkan untuk menikahkannya.” (Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005, Pasal 1 Ayat 4).
Masalah muncul ketika urutan ini tidak diperhatikan. Misalnya, seorang anak menikahkan ibunya, padahal ayah kandung si wanita masih hidup. Dalam kasus seperti ini, para ulama menegaskan bahwa akad nikahnya tidak sah.
Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam al-Mughni:
“إِذَا زَوَّجَهَا الْوَلِيُّ الْأَبْعَدُ، مَعَ حُضُورِ الْوَلِيِّ الْأَقْرَبِ، فَأَجَابَتْهُ إِلَى تَزْوِيجِهَا مِنْ غَيْرِ إِذْنِهِ، لَمْ يَصِحَّ.”
“Jika wali yang lebih jauh menikahkan wanita, sementara wali yang lebih dekat hadir dan wanita menerimanya tanpa izinnya, maka akad tidak sah.”
Demikian juga disebutkan oleh Al-Hajjawi dalam Zaad al-Mustaqni’:
“وَإِنْ زَوَّجَ الأَبْعَدُ، أَوْ أَجْنَبِيٌّ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ: لَمْ يَصِحَّ”
“Jika wali yang lebih jauh atau orang asing menikahkan wanita tanpa alasan yang syar’i, maka tidak sah.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan:
“وإن زوج الأبعدُ أو أجنبيٌ من غير عذرٍ لم يصح، يعني والأقرب موجود، وأهل للولاية، فإن النكاح لا يصح؛ لأن قول الرسول ﷺ: «إِلَّا بِوَلِيٍّ» وصف مشتق من الولاية، فيقتضي أن يكون الأحق الأولى فالأولى”
“Jika wali yang lebih jauh atau orang asing menikahkan tanpa alasan yang sah, maka pernikahan tidak sah, padahal wali yang lebih dekat masih ada dan layak. Karena sabda Rasulullah ﷺ ‘kecuali dengan wali’ itu menunjukkan bahwa yang berhak adalah yang paling utama, lalu yang setelahnya.” (Syarah Al Mumti’, 12/45).
Bahkan, ketika beliau ditanya dalam Liqā’ al-Bāb al-Maftūḥ (no. 159) mengenai anak yang menikahkan ibunya, padahal ayahnya masih hidup, beliau menjawab dengan merinci:
- Kalau ayah jauh dan tidak bisa dihubungi, anak boleh menjadi wali dalam kondisi darurat.
- Kalau ayah menolak tanpa alasan syar’i, padahal calon suami adalah orang baik dan sepadan, maka anak bisa menggantikan.
- Namun jika ayah ada, mampu, dan tidak menghalangi, maka anak tidak boleh menjadi wali, dan jika tetap dilakukan, akadnya tidak sah dan harus diulang.
Kesimpulannya, posisi wali dalam pernikahan bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari penjagaan syariat terhadap kehormatan wanita. Jika pernikahan dilakukan oleh wali yang tidak sah, maka secara syariat akadnya batal, dan harus diulang dengan wali yang sah dan disaksikan oleh dua saksi.
Dan dalam kondisi benar-benar darurat, hakim agama (qadhi) yang mewakili otoritas syariat dapat menjadi wali.
Semoga Allah memberi kita pemahaman yang benar dalam urusan agama, dan menjadikan setiap langkah menuju pernikahan dimulai dengan cara yang halal, sah, dan penuh keberkahan.
Wallahua’lam bis showab.
Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.